Hadir dalam kelesuan cipta di tahun 2014. Mewarnai blantika sastra Indonesia seiring dengan caruk-marutnya dunia sastra. Mungkin salah satu diantara kumpulan puisi bersama bertaraf nasional. Sebuah antologi bertemakan kebhinnekaan negeri kita. Penyairnya pun datang dari penjuru Tanah Air.
mengucapkan
PANGGUNG HIBURAN
Hiburan rakyat
Melihat pelawak
Bergaya koplak
Lupa sesaat
Beban berat
Dipikul pundak
Hiburan pejabat
Melihat uang
Dibawa rekanan
Pengganti tandatangan
Lupa sesaat
Jaga martabat
Menjelma bangsat
Ooo….
Rakyat koplak
Pejabat bangsat
Wardjito Soeharso
2013
NGUDARASA
Sadalan dalan
Anane mung gronjalan
Mergo akeh kedokan
Salurung lurung
Anane mung bingung
Mergo adoh gurung
Yen dalan wis kebak kedokan
Lurung wis akeh sing suwung
Gurung wis pedot sakdurunge diulur
Wisma tanpa tata
Desa tanpa cara
Para pamong ilang subasita
Iki pertanda dudu sanepa
Yen jalma wis pada kelangan adat
Adoh saka urip anteng
Dinadina isine genduyakan
Kaya geger sing ngoyak macan
Tan ana asile kang mapan
Mula ta tansah elinga
Bebrayan iku tansah sangga sinangga
Abot enteng nora rinasa
Arepa awan panase sumelet
Bengine peteng ndedet lelimengan
Kabeh lumaku kanti rahayu.
Wardjito Soeharso
2013
Mengapa Kamu Mencintai
+ Mengapa kamu mencintai ibumu?
- Karena aku mengawali hidup dengan minum air susu ibuku.
+ Mengapa kamu mencintai gurumu?
- Karena aku mencecap dan memahami ilmu dengan belajar dari guruku.
+ Mengapa kamu mencintai negaramu?
- Karena aku makan dan minum untuk tumbuh dari bumi negaraku.
+ Mengapa kamu mencintai bangsamu?
- Karena aku membangun kebanggaan dengan jatidiri bangsaku.
+ Mengapa kamu mencintai agamamu?
- Karena aku ingin mati dalam naungan agamaku.
Wardjito Soeharso
2013
Di Bawah Bendera Merah Putih
Dengan upacara hidmat
Kau dikibarkan ke angkasa
Pagi cerah, mentari sumringah
Wajah-wajah abdi negeri
Dingin tanpa ekspresi
Tangan sikap hormat di samping kening
Adakah itu penghormatan atas nama jiwa merah saga?
Dibelai angin pagi
Merah putih berkibar megah.
Tapi dengarlah:
Dia merintih sedih!
“merahku tak lagi merah, putihku tak lagi putih”.
Siapa mesti peduli?
Srondol, 12 Agustus 2013
Wardjito Soeharso
***